Catatan Opini Pribadi tentang Realitas dan Harapan Pendidikan Indonesia
Qorinul Choir Al-Farisy, M.Pd.
(Guru Sekolah Dasar di Daerah Pinggiran Kota)
Setiap tanggal 25 November, saya selalu berhenti sejenak dari rutinitas mengajar untuk merenung. Hari Guru bukan hanya perayaan atau seremoni, tetapi juga panggilan bagi kita, para pendidik, untuk melihat kembali perjalanan panjang yang telah dilalui. Tahun 2025 ini, saya kembali bertanya pada diri sendiri: “Bagaimana sebenarnya kondisi guru di Indonesia hari ini?”
Pertanyaan itu terus menggema di kepala saya, sebab di balik cerita-cerita indah tentang guru inspiratif, penghargaan, dan karangan bunga dari murid-murid, masih ada realitas yang mengusik batin saya: pendidikan Indonesia masih menyimpan banyak masalah, dan satu di antaranya yang paling terasa adalah kesejahteraan guru yang belum juga memadai.
Catatan refleksi ini saya tulis bukan sekadar curahan hati, tetapi juga cermin dari pengalaman saya dan rekan-rekan guru yang saya temui sehari-hari di sekolah. Semoga catatan ini mampu menjadi suara yang mewakili berbagai suara yang sering luput terdengar.
Menjadi guru bagi saya adalah panggilan jiwa. Setiap kali melihat wajah murid yang bertanya dengan antusias, hati saya terasa penuh. Ketika mereka mengalami kemajuan—sekecil apa pun—saya merasakan kebahagiaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Namun di balik itu, ada fakta pahit yang sulit saya hindari: panggilan jiwa saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Saya melihat sendiri bagaimana banyak guru, terutama guru honorer, harus bekerja keras lebih dari satu pekerjaan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Ada yang menjadi ojek online setelah jam sekolah. Ada juga yang membuka warung kecil, menjahit, atau bekerja paruh waktu sebagai kurir paket di tempat lain. Bahkan beberapa guru muda yang sangat potensial memilih meninggalkan profesi ini demi pekerjaan yang lebih menjanjikan secara ekonomi.
Sebagai guru, saya sering merenung:
Bagaimana mungkin kita bisa mendidik dengan optimal jika kebutuhan dasar kita saja belum terpenuhi?
Bagaimana guru bisa menghadirkan pembelajaran berkualitas jika mereka harus memikirkan bagaimana membayar listrik, kontrakan, atau biaya anak?
Masalah kesejahteraan ini bukan cerita baru, tetapi hingga Hari Guru 2025, ia masih menjadi luka lama yang belum benar-benar sembuh.
Ketika orang berbicara tentang guru sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”, terkadang saya ingin bertanya: apakah seharusnya pahlawan tidak layak mendapatkan kesejahteraan? Apakah profesi guru hanya pantas mendapat penghormatan simbolis, bukan penghargaan nyata melalui penghasilan yang layak dan perlindungan profesi yang memadai?
Saya mengingat percakapan dengan seorang rekan guru honorer beberapa bulan lalu. Ia berkata, “Saya mencintai murid-murid saya, tetapi saya juga ingin masa depan yang pasti.” Kalimat itu sederhana, tetapi sangat menusuk. Karena itu adalah kenyataan banyak guru di negeri ini.
Sampai hari ini, isu guru honorer masih menjadi masalah besar. Banyak guru yang sudah mengabdi puluhan tahun tetap berstatus tidak tetap. Ada yang menerima gaji di bawah UMR, bahkan ada yang masih di bawah satu juta rupiah per bulan. Gaji yang mereka terima tidak sebanding dengan pekerjaan yang mereka lakukan: membimbing, mendidik, merencanakan, menilai, serta mengasuh murid secara emosional.
Guru membutuhkan lebih dari sekadar penghargaan moral. Mereka membutuhkan penghargaan yang konkret, gaji yang layak, jaminan kesehatan, kesempatan peningkatan kompetensi, serta jenjang karier yang jelas. Tanpa itu semua, bagaimana pendidikan Indonesia bisa maju?
Masalah lain yang tidak kalah besar adalah beban administrasi. Kadang saya merasa profesi guru dibelah menjadi dua: guru di atas kertas dan guru di ruang kelas. Di atas kertas, guru harus menulis berbagai laporan, analisis, perangkat ajar, penilaian berlapis, dan dokumen-dokumen lainnya. Namun di ruang kelas, guru harus menjadi fasilitator, mentor, motivator, sekaligus pendamping emosional murid.
Dua peran ini seolah berjalan bertolak belakang. Di satu sisi, guru diminta menghadirkan pembelajaran bermakna, kreatif, dan inovatif. Di sisi lain, guru dituntut menyelesaikan administrasi yang tidak sedikit. Akibatnya, waktu dan energi guru terkuras.
Saya sering melihat rekan guru yang mengoreksi tugas hingga larut malam, atau menyusun perangkat ajar di akhir pekan. Belum lagi ketika ada perubahan kurikulum yang membutuhkan adaptasi cepat, sementara pelatihan dan pendampingan tidak selalu merata.
Terkadang saya bertanya dalam hati:
Bagaimana guru bisa kreatif jika pikirannya lelah?
Bagaimana guru bisa inovatif jika energinya habis pada hal-hal administratif?
Guru membutuhkan ruang untuk berpikir dan berkembang. Tetapi sering kali waktu itu habis sebelum kita sempat benar-benar menggunakannya.
Tantangan pendidikan hari ini bukan hanya soal materi pelajaran. Murid-murid kita hidup dalam era digital yang penuh tekanan: perundungan di media sosial, kecanduan gawai, krisis percaya diri, serta tekanan akademik dan sosial. Mereka hidup dalam dunia yang cepat, instan, dan penuh perbandingan.
Dalam kondisi seperti ini, guru bukan hanya mengajar. Mereka menjadi pendengar, konselor, mediator, bahkan figur orang tua di sekolah. Namun pertanyaannya: apakah guru mendapatkan bekal cukup untuk menghadapi tantangan ini?
Sering kali saya melihat murid menangis karena masalah keluarga, konflik pertemanan, atau tekanan emosi. Guru harus hadir memberi bimbingan. Tetapi di tengah tuntutan administratif dan kesejahteraan yang belum memadai, guru juga manusia yang membutuhkan ruang untuk memulihkan diri.
Jika pendidikan ingin maju, maka kompetensi sosial-emosional guru harus menjadi prioritas. Tidak hanya murid yang perlu dukungan sosial-emosional guru pun sama.
Indonesia terlalu luas untuk mengatakan bahwa pendidikan sudah merata. Saya pernah mengunjungi sekolah di daerah pedesaan beberapa tahun lalu, dan kondisi itu masih saya lihat terjadi di banyak tempat: buku terbatas, akses internet sulit, ruang kelas rapuh, dan kekurangan guru tetap.
Di sisi lain, sekolah-sekolah di kota besar menikmati fasilitas lebih baik, akses teknologi, dan kesempatan pelatihan yang jauh lebih banyak. Ketimpangan ini menciptakan jurang yang semakin lebar.
Murid di daerah terpencil tidak mendapatkan kesempatan yang sama seperti murid di kota. Padahal setiap anak Indonesia memiliki hak yang sama untuk meraih pendidikan berkualitas.
Guru sering kali menjadi “garda terakhir” dari keterbatasan ini. Ketika fasilitas terbatas, guru yang mencari cara alternatif. Ketika materi tidak tersedia, guru yang mengembangkan sendiri. Namun guru juga memiliki batas kemampuan.
Jika guru ingin meningkatkan kualitas pembelajaran, maka dukungan sistem harus merata: fasilitas, pelatihan, dan sumber daya.
Beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan mulai bergerak menuju pendekatan pembelajaran mendalam atau deep learning. Pendekatan ini bukan sekadar metode baru, tetapi sebuah cara berpikir tentang bagaimana murid seharusnya belajar di abad ke-21: bukan hanya menghafal informasi, tetapi memahami konsep secara mendalam, mampu menghubungkan ide, memecahkan masalah nyata, dan menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Bagi saya, deep learning menawarkan harapan baru bagi pendidikan Indonesia, terutama dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks. Pendekatan ini menuntut guru untuk menghadirkan pembelajaran yang bermakna, kontekstual, dan memungkinkan murid membangun pengetahuan dari pengalaman nyata. Bukan lagi pembelajaran yang berpusat pada guru dan buku teks, tetapi pembelajaran yang berpusat pada murid dan kehidupan mereka sehari-hari.
Namun saya juga memahami bahwa deep learning tidak bisa serta-merta diterapkan tanpa kesiapan sistem. Guru membutuhkan pelatihan yang mendalam, kesempatan untuk berkolaborasi, serta kebebasan untuk merancang pengalaman belajar yang kreatif. Sekolah membutuhkan dukungan fasilitas dan budaya belajar yang terbuka terhadap inovasi. Orang tua juga perlu memahami bahwa belajar tidak hanya soal nilai, tetapi soal proses berpikir dan tumbuhnya karakter murid.
Deep learning adalah tanda bahwa kita sedang bergerak ke arah yang lebih baik. Pendekatan ini mengingatkan kita bahwa pendidikan tidak boleh berhenti pada tataran pengetahuan dangkal. Kita ingin murid yang mampu memahami, bukan hanya mengingat. Kita ingin mereka mampu bertanya, bukan hanya menjawab. Kita ingin mereka membangun masa depan, bukan sekadar menyesuaikan diri dengan keadaan.
Harapan saya, pada masa mendatang deep learning benar-benar menjadi budaya pembelajaran di sekolah—bukan hanya wacana atau slogan. Jika diterapkan dengan sungguh-sungguh, pendekatan ini dapat menjadi jembatan menuju kualitas pendidikan yang setara, relevan, dan memerdekakan.
Di tengah segala permasalahan itu, sering kali orang bertanya kepada saya: “Kenapa masih bertahan menjadi guru?”
Jawabannya sederhana tetapi mendalam: karena ada banyak hal yang hanya bisa saya temui di profesi ini. Saya merasakan kebahagiaan yang murni ketika murid mampu memahami sesuatu yang sebelumnya sulit. Saya merasa bangga ketika melihat murid yang dulunya tidak percaya diri, kini berani menunjukkan kemampuan. Saya terharu ketika mantan murid kembali dan berkata, “Bu, Pak, dulu Bapak/Ibu membuat saya percaya diri.”
Kepuasan seperti itu tidak ternilai. Itulah yang membuat saya bertahan.
Tetapi rasa cinta terhadap profesi tidak boleh dijadikan alasan membiarkan masalah kesejahteraan dan sistem pendidikan berjalan apa adanya. Cinta tidak boleh menutup mata dari kenyataan.
Di Hari Guru 25 November 2025 ini, saya ingin menyuarakan beberapa harapan yang sejak lama terpendam dalam hati para pendidik. Pertama, kesejahteraan guru harus menjadi prioritas, karena guru layak mendapatkan gaji yang manusiawi, bukan hanya cukup untuk bertahan hidup, tetapi cukup untuk hidup layak. Kedua, status guru harus dipastikan, sebab tidak boleh ada lagi guru yang mengabdi puluhan tahun namun tetap berstatus honorer tanpa kepastian masa depan. Ketiga, beban administrasi perlu disederhanakan agar guru dapat kembali fokus pada tugas utamanya: mendidik, bukan sekadar mengetik laporan. Keempat, pemerataan akses pelatihan dan fasilitas harus menjadi kebijakan nasional yang serius, sehingga tidak ada lagi murid atau guru yang tertinggal hanya karena mereka lahir atau bekerja di lokasi yang berbeda. Kelima, dukungan sosial-emosional bagi guru harus menjadi bagian dari sistem pendidikan, karena guru pun membutuhkan kesehatan mental yang baik agar mampu mendampingi murid dengan sepenuh hati. Semua harapan ini bukan hanya untuk meningkatkan kesejahteraan guru, tetapi juga untuk memperbaiki wajah pendidikan Indonesia secara keseluruhan.
Selamat Hari Guru.
Salam hangat untuk semua insan pendidikan.
Comments
Post a Comment